Bila ada pemahaman atau tafsiran ajaran
agama Islam yang menentang fakta-fakta ilmiah, maka kemungkinan yang salah
adalah pemahaman dan tafsiran terhadap ajaran agama tersebut. Bila ada ’ilmu
pengetahuan’ yang menentang prinsip-prinsip pokok ajaran agama Islam maka yang
salah adalah tafsiran filosofis atau paradigma materialisme-sekular yang berada
di balik wajah ilmu pengetahuan modern tersebut.
Karena alam semesta –yang dipelajari
melalui ilmu pengetahuan–, dan ayat-ayat suci Tuhan (Al-Quran) dan Sunnah
Rasulullah saw — yang dipelajari melalui agama– , adalah sama-sama ayat-ayat
(tanda-tanda dan perwujudan/tajaliyat) Allah swt, maka tidak mungkin satu sama
lain saling bertentangan dan bertolak belakang, karena keduanya berasal dari
satu Sumber yang Sama, Allah Yang Maha Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam
Semesta.
Keutamaan
orang-orang yang berilmu dan beriman sekaligus, diungkapkan Allah dalam
ayat-ayat berikut:
“Katakanlah:
‘Adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?’
Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
(QS. Az-Zumar [39] : 9).
“Allah
berikan al-Hikmah (Ilmu pengetahuan, hukum, filsafat dan kearifan) kepada siapa
saja yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al-Hikmah itu,
benar-benar ia telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (berdzikir) dari firman-firman
Allah.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 269).
“Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”. (QS Mujaadilah [58] :11)
Rasulullah
saw pun memerintahkan para orang tua agar mendidik anak-anaknya dengan sebaik
mungkin. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu diciptakan buat menghadapi
zaman yang sama sekali lain dari zamanmu kini.” (Al-Hadits Nabi saw). “Menuntut
ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin, Sesungguhnya Allah mencintai para
penuntut ilmu.” (Hadis Nabi saw).
Mengapa
kita harus menguasai IPTEK? Terdapat tiga alasan pokok, yakni:
1.
Ilmu pengetahuan yg berasal dari dunia Islam sudah diboyong oleh negara-negara
barat. Ini fakta, tdk bisa dipungkiri.
2.
Negara-negara barat berupaya mencegah terjadinya pengembangan IPTEK di
negara-negara Islam. Ini fakta yang tak dapat dipungkiri.
3.
Adanya upaya-upaya untuk melemahkan umat Islam dari memikirkan kemajuan
IPTEK-nya, misalnya umat Islam disodori persoalan-persoalan klasik agar umat
Islam sibuk sendiri, ramai sendiri dan akhirnya bertengkar sendiri.
Selama
20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan.
Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah
500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat
orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk
Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia.
Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang
terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf
yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol,
terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September
2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim,
tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika)
kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam
itu, apa yang dikatakan Al Quran, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan
sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan
dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan
jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam. Demikianlah, perkiraan yang
umum terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa “serangan ini akan
mengubah alur sejarah dunia”, dalam beberapa hal, telah mulai nampak
kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang
dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam.
Hal
luar biasa yang sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita
mempelajari perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui
melalui surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini,
yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan hari
itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai ajaran Islam
telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Di belahan dunia Islam
lainnya, Islam berada pada titik perkembangan pesat di Eropa. Perkembangan ini
telah menarik perhatian yang lebih besar di tahun-tahun belakangan, sebagaimana
ditunjukkan oleh banyak tesis, laporan, dan tulisan seputar “kedudukan kaum
Muslim di Eropa” dan “dialog antara masyarakat Eropa dan umat Muslim.”
Beriringan
dengan berbagai laporan akademis ini, media massa telah sering menyiarkan
berita tentang Islam dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah perkembangan
yang terus-menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa, dan peningkatan ini
tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi
dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi umat Islam, namun
banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan sebab lain:
angka perpindahan agama yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada
tanggal 20 Juni 2004 dengan judul “Islam adalah agama yang berkembang paling
pesat di Eropa” membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik
Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang memeluk
Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama pasca peristiwa
serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di Prancis
meningkat sebanyak 30 hingga 40 ribu di tahun lalu saja.
1)
Gereja Katolik dan Perkembangan Islam
Gereja
Katolik Roma, yang berpusat di kota Vatican, adalah salah satu lembaga yang
mengikuti fenomena tentang kecenderungan perpindahan agama. Salah satu pokok
bahasan dalam pertemuan bulan Oktober 1999 muktamar Gereja Eropa, yang dihadiri
oleh hampir seluruh pendeta Katolik, adalah kedudukan Gereja di milenium baru.
Tema utama konferensi tersebut adalah tentang pertumbuhan pesat agama Islam di
Eropa. The National Catholic Reporter melaporkan sejumlah orang garis keras
menyatakan bahwa satu-satunya cara mencegah kaum Muslim mendapatkan kekuatan di
Eropa adalah dengan berhenti bertoleransi terhadap Islam dan umat Islam;
kalangan lain yang lebih objektif dan rasional menekankan kenyataan bahwa oleh
karena kedua agama percaya pada satu Tuhan, sepatutnya tidak ada celah bagi
perselisihan ataupun persengketaan di antara keduanya.
Dalam
satu sesi, Uskup Besar Karl Lehmann dari Jerman menegaskan bahwa terdapat lebih
banyak kemajemukan internal dalam Islam daripada yang diketahui oleh banyak
umat Nasrani, dan pernyataan-pernyataan radikal seputar Islam sesungguhnya
tidak memiliki dasar.
(1)
Mempertimbangkan kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan kedudukan Gereja di
milenium baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB
menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa
meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat
Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5
juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di
Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk
Eropa.
(2)
Kesadaran Beragama di Kalangan Muslim Meningkat di Eropa. Penelitian terkait
juga mengungkap bahwa seiring dengan terus meningkatnya jumlah Muslim di Eropa,
terdapat kesadaran yang semakin besar dalam menjalankan agama di kalangan para
mahasiswa. Menurut survei yang dilakukan oleh surat kabar Prancis Le Monde di
bulan Oktober 2001, dibandingkan data yang dikumpulkan di tahun 1994, banyak
kaum Muslims terus melaksanakan sholat, pergi ke mesjid, dan berpuasa.
Kesadaran ini terlihat lebih menonjol di kalangan mahasiswa universitas.
(3)
Dalam sebuah laporan yang didasarkan pada media masa asing di tahun 1999,
majalah Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50
tahun ke depan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam.
h.
Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa
Bersamaan
dengan kajian sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan
bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru-baru ini saja, akan
tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa.
Eropa
dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama,
negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa
Perang Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah
(1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat
itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah
pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju
terang-benderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang
kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim
memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat
dalam membangun.
Perkembangan
Islam juga tercerminkan dalam perkembangan dialog antar-agama baru-baru ini.
Dialog-dialog ini berawal dengan pernyataan bahwa tiga agama monoteisme (Islam,
Yahudi, dan Nasrani) memiliki pijakan awal yang sama dan dapat bertemu pada
satu titik yang sama. Dialog-dialog seperti ini telah sangat berhasil dan
membuahkan kedekatan hubungan yang penting, khususnya antara umat Nasrani dan
Muslim. Dalam Al Quran, Allah memberitahukan kepada kita bahwa kaum Muslim
mengajak kaum Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) untuk bersatu pada satu pijakan
yang disepakati bersama:
Katakanlah:
“Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika
mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah bahwa kami adalah
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali ‘Imran, 3: 64)
Ketiga
agama yang meyakini satu Tuhan tersebut memiliki keyakinan yang sama dan
nilai-nilai moral yang sama. Percaya pada keberadaan dan keesaan Tuhan,
malaikat, Nabi, Hari Akhir, Surga dan Neraka, adalah ajaran pokok keimanan
mereka. Di samping itu, pengorbanan diri, kerendahan hati, cinta, berlapang
dada, sikap menghormati, kasih sayang, kejujuran, menghindar dari berbuat zalim
dan tidak adil, serta berperilaku mengikuti suara hati nurani semuanya adalah
sifat-sifat akhak terpuji yang disepakati bersama. Jadi, karena ketiga agama
ini berada pada pijakan yang sama, mereka wajib bekerja sama untuk menghapuskan
permusuhan, peperangan, dan penderitaan yang diakibatkan oleh ideologi-ideologi
antiagama. Ketika dilihat dari sudut pandang ini, dialog antar-agama memegang
peran yang jauh lebih penting. Sejumlah seminar dan konferensi yang
mempertemukan para wakil dari agama-agama ini, serta pesan perdamaian dan
persaudaraan yang dihasilkannya, terus berlanjut secara berkala sejak pertengahan
tahun 1990-an.
Dengan
mempertimbangkan semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu
pergerakan kuat menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan
terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak
menuju zaman yang sama sekali baru. Yaitu sebuah zaman yang di dalamnya, insya
Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan ajaran akhlak Al Quran akan
tersebar luas. Penting untuk dipahami, perkembangan yang sangat penting ini
telah dikabarkan dalam Al Quran 14 abad yang lalu:
“Mereka
berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun
orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya
(dengan membawa) petunjuk (Al Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya
atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At Taubah,
9: 32-33)
Tersebarnya
akhlak Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang-orang yang beriman.
Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita saw menegaskan bahwa ajaran
akhlak Al Quran akan meliputi dunia. Di masa-masa akhir menjelang berakhirnya
dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di mana kezaliman,
ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan, permusuhan, persengketaan,
dan kebobrokan akhlak merajalela. Kemudian akan datang Zaman Keemasan, di mana
tuntunan akhlak ini mulai tersebar luas di kalangan manusia bagaikan naiknya
gelombang air laut pasang dan pada akhirnya meliputi seluruh dunia. Sejumlah
hadits ini, juga ulasan para ulama mengenai hadits tersebut, dipaparkan
sebagaimana berikut:
Selama
[masa] ini, umatku akan menjalani kehidupan yang berkecukupan dan terbebas dari
rasa was-was yang mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. [Tanah] akan
mengeluarkan panennya dan tidak akan menahan apa pun dan kekayaan di masa itu
akan berlimpah. (Sunan Ibnu Majah)
Penghuni
langit dan bumi akan ridha. Bumi akan mengeluarkan semua yang tumbuh, dan
langit akan menumpahkan hujan dalam jumlah berlimpah. Disebabkan seluruh
kebaikan yang akan Allah curahkan kepada penduduk bumi, orang-orang yang masih
hidup berharap bahwa mereka yang telah meninggal dunia dapat hidup kembali.
(Muhkhtasar Tazkirah Qurtubi, hal. 437)
Bumi
akan berubah seperti penampan perak yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan … (Sunan
Ibnu Majah)
Bumi
akan diliputi oleh kesetaraan dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi
oleh penindasan dan kezaliman. (Abu Dawud)
Keadilan
akan demikian jaya sampai-sampai semua harta yang dirampas akan dikembalikan
kepada pemiliknya; lebih jauh, sesuatu yang menjadi milik orang lain, sekalipun
bila terselip di antara gigi-geligi seseorang, akan dikembalikan kepada
pemiliknya… Keamanan meliputi seluruh Bumi dan bahkan segelintir perempuan bisa
menunaikan haji tanpa diantar laki-laki. (Ibn Hajar al Haitsami: Al Qawlul
Mukhtasar fi `Alamatul Mahdi al Muntazar, hal. 23)
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan di atas, Zaman Keemasan akan merupakan suatu masa di mana
keadilan, kemakmuran, keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman, perdamaian, dan
persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan merupakan suatu zaman
di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri, lapang dada, kasih sayang,
dan kesetiaan. Dalam hadits-haditsnya, Nabi kita saw mengatakan bahwa masa yang
diberkahi ini akan terjadi melalui perantara Imam Mahdi, yang akan datang di
Akhir Zaman untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan
kehancuran akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan
dan menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan
agama seperti di masa Nabi kita saw, menjadikan tuntunan akhlak Al Quran
meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan kesejahteraan
di seluruh dunia.
Kebangkitan
Islam yang sedang dialami dunia saat ini, serta peran Negara Iran dan Turki di
era baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al
Quran dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita bahwa
Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah ini.
- Kekuatan Iptek
Hampir
menjadi pengetahuan umum (common sense) bahwa dasar dari peradaban modern
adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Iptek merupakan dasar dan
pondasi yang menjadi penyangga bangunan peradaban modern barat sekarang ini.
Masa depan suatu bangsa akan banyak ditentukan oleh tingkat penguasaan bangsa
itu terhadap Iptek. Suatu masyarakat atau bangsa tidak akan memiliki keunggulan
dan kemampuan daya saing yang tinggi, bila ia tidak mengambil dan mengembangkan
Iptek. Bisa dimengerti bila setiap bangsa di muka bumi sekarang ini,
berlomba-lomba serta bersaing secara ketat dalam penguasaan dan pengembangan
iptek.(2)
Diakui
bahwa iptek, disatu sisi telah memberikan “berkah” dan anugrah yang luar biasa
bagi kehidupan umat manusia. Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan
“petaka” yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Kemajuan dalam
bidang iptek telah menimbulkan perubahan sangat cepat dalam kehidupan uamt
manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat memiliki daya jangkau yang amat
luas. Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan.
Perubahan ini pada kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam
kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan
kemanusiaan.(3)
Di
Eropa, sejak abad pertengahan, timbul konflik antara ilmu pengetahuan (sains)
dan agama (gereja). Dalam konflik ini sains keluar sebagai pemenang, dan sejak
itu sains melepaskan diri dari kontrol dan pengaruh agama, serta membangun
wilayahnya sendiri secara otonom.(4)
Dalam
perkembangannya lebih lanjut, setelah terjadi revolusi industri di Barat,
terutama sepanjang abad XVIII dan XIX, sains bahkan menjadi “agama baru” atau
“agama palsu”(Pseudo Religion). Dalam kajian teologi modern di Barat, timbul
mazhab baru yang dinamakan “saintisme” dalam arti bahwa sains telah menjadi
isme, ideologi bahkan agama baru.(5)
Namun
sejak pertengahan abad XX, terutama seteleh terjadi penyalahgunaan iptek dalam
perang dunia I dan perang dunia II, banyak pihak mulai menyerukan perlunya
integrasi ilmu dan agama, iptek dan imtak. Pembicaraan tentang iptek mulai
dikaitkan dengan moral dan agama hingga sekarang (ingat kasus kloning
misalnya). Dalam kaitan ini, keterkaitan iptek dengan moral (agama) di harapkan
bukan hanya pada aspek penggunaannya saja (aksiologi), tapi juga pada pilihan
objek (ontologi) dan metodologi (epistemologi)-nya sekaligus.
Di
negara ini, gagasan tentang perlunya integrasi pendidikan imtak dan iptek ini
sudah lama digulirkan. Profesor B.J. Habibie, adalah orang pertama yang
menggagas integrasi imtak dan iptek ini. Hal ini, selain karena adanya problem
dikotomi antara apa yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu agama
(Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam
sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan asas iman dan
takwa yang kuat, sehingga pengembangan dan kemajuan iptek tidak memiliki nilai
tambah dan tidak memberikan manfaat yang cukup berarti bagi kemajuan dan
kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.
Kekhwatiran
ini, cukup beralasan, karena sejauh ini sistem pendidikan kita tidak cukup
mampu menghasilkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt
sebagaimana diharapkan. Berbagai tindak kejahatan sering terjadi dan banyak
dilakukan justru oleh orang-orang yang secara akademik sangat terpelajar,
bahkan mumpuni. Ini berarti, aspek pendidikan turut menyumbang dan memberikan
saham bagi kebangkrutan bangsa yang kita rasakan sekarang. Kenyataan ini
menjadi salah satu catatan mengenai raport merah pendidikan nasional kita.
Secara
lebih spesifik, integrasi pendidikan imtak dan iptek ini diperlukan karena
empat alasan.
Pertama,
sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan memberikan berkah dan manfaat yang
sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek disertai oleh
asas iman dan takwa kepada Allah swt. Sebaliknya, tanpa asas imtak, iptek bisa
disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. Iptek dapat
mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika demikian, iptek hanya absah secara
metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi. (6)
Kedua,
pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah menimbulkan pola
dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik, dan hedonistik,
yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh
bangsa kita. (7)
Ketiga,
dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti (kebutuhan
jasmani), tetapi juga membutuhkan imtak dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan
spiritual). Oleh karena itu, penekanan pada salah satunya, hanya akan
menyebabkan kehidupan menjadi pincang dan berat sebelah, dan menyalahi hikmat
kebijaksanaan Tuhan yang telah menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa raga,
lahir dan bathin, dunia dan akhirat. (8)
Keempat,
imtak menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar manusia
menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi, seperti
harta, pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal mengantar
manusia meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman dan upaya
mencari ridha Tuhan, hanya akan mengahsilkan fatamorgana yang tidak menjanjikan
apa-apa selain bayangan palsu (Q.S. An-Nur:39). Maka integrasi imtak dan iptek
harus diupayakan dalam format yang tepat sehingga keduanya berjalan seimbang
(hand in hand) dan dapat mengantar kita meraih kebaikan dunia (hasanah fi
al-Dunya) dan kebaikan akhirat (hasanah fi al-akhirah) seperti do’a yang setiap
saat kita panjatkan kepada Tuhan (Q.S. Al-Baqarah :201).
- Menuju Integrasi Imtak dan Iptek
Untuk
membangun sistem pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan imtak dan iptek
dalam sistem pendidikan nasional kita, kita harus melihat kembali aspek-aspek
pendidikan kita, terutama berkaitan dengan empat hal berikut ini, yaitu:
1)
Filsafat dan orientasi pendidikan (termasuk di dalamnya filsafat manusia)
2)
Tujuan Pendidikan
3)
Filsafat ilmu pengetahuan (Epistemologi) dan
4)
Pendekatan dan metode pembelajaran.
Dalam
filsafat pendidikan konvensional, pendidikan dipahami sebagai proses
mengalihkan kebudayaan dari satu generasi ke generasi lain. Filsafat pendidikan
semacam ini mengandung banyak kelemahan. Selain dapat timbul degradasi
(penurunan kualitas pendidikan) setiap saat, pendidikan cenderung dipahami
sebagai transfer of knowledge semata dengan hanya menyentuh satu aspek saja,
aspek kognitif dan kecerdasan intelektual (IQ) semata dengan mengabaikan
kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) peserta didik. Dengan
filosofi seperti itu, peserta didik sering diperlakukan sebagai makhluk tidak
berkesadaran. Akibatnya, pendidikan tidak berhasil melaksanakan fungsi dasarnya
sebagai wahana pemberdayaan manusia dan peningkatan harkat dan martabat manusia
dalam arti yang sebenar-benarnya.
Berbicara
filsafat pendidikan, mau tidak mau, kita harus membicarakan pula tentang
filsafat manusia. Soalnya, proses pendidikan itu dilakukan oleh manusia dan
untuk manusia pula. Pendeknya, pendidikan melibatkan manusia baik sebagai
subjek maupun objek sekaligus. Tanpa mengenal siapa manusia itu sebenarnya,
proses pendidikan, akan selalu menemui kegagalan seperti yang selama ini terjadi.
Manusia,
dalam pandangan Islam, adalah puncak dari ciptaan tuhan (Q.S. At-Thiin : 4),
mahluk yang dimuliakan oleh Allah dan dilebihkan dibanding mahluk lain (Q.S.
Al-Isra : 70), merupakan mahluk yang dipercaya oleh Tuhan sebagai Khalifah di
muka bumi (Q.S. Al-Baqarah : 30, Shad :36), manusia dibekali oleh Allah
potensi-potensi baik berupa panca indera, akal pikiran (rasio), hati (Qalb),
dan sanubari (Q.S. As-Sajadh : 9). Dengan demikian, manusia adalah mahluk
rasional dan emosional, makhluk jasmani dan rohani sekaligus.
Bertolak
dari filsafat manusia ini, maka pendidikan tidak lain harus dipahami sebagai
ikhtiar manusia yang dilakukan secara sadar untuk menumbuhkan potensi-potensi
baik yang dimiliki manusia sehingga ia mampu dan sanggup mempertanggung
jawabkan eksistensi dan kehadirannya di muka bumi. Dalam perspektif ini, adalah
pendidikan manusia seutuhnya, dan harus diarahkan pada pembentukan kesadaran
dan kepribadian manusia. Disinilah, nilai-nilai budaya dan agama, imtak dan
akhlaqul al-Karimah, dapat ditanamkan, sehingga pendidikan, selain berisi
transfer ilmu, juga bermakna transformasi nilai-nilai budaya dan agama (imtak).
Lalu,
apa tujuan pendidikan itu? Dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan tidak
berbeda dengan tujuan hidup itu sendiri, yaitu beribadah kepada Allah swt (Q.S.
Al-Dzariyat: 56). Dengan kata lain, pendidikan harus menciptakan
pribadi-pribadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt yang dapat
mengantar manusia meraih kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan
Islam berorientasi pada penciptaan ilmuwan (ulama) yang takut bercampur kagum
kepada kebesaran Allah swt (Q.S. Fathir : 28), dan berorientasi pada penciptaan
intelektual dengan kualifikasi sebagai Ulul Albab yang dapat mengembangkan
kualitas pikir dan kualitas dzikir (imtaq dan iptek) sekaligus (Q.S. Ali Imran:
191-193).
Proses
integrasi imtak dan iptek, seperti telah disinggung di muka, pada hemat saya,
harus pula dilakukan dalam tataran atau ranah metafisika keilmuan, khususnya
menyangkut ontologi dan epistemologi ilmu. Ontologi ilmu menjelaskan apa saja
realitas yang dapat diketahui manusia, sedang epiremologi menjelaskan bagaimana
manusia memperoleh pengetahuan itu dan dari mana sumbernya.(9)
Dikotomi
keilmuan yang terjadi selama ini sesungguhnya bermula dari sini. Untuk itu
integrasi imtak dan iptek, harus pula dimulai dari sini. Ini berarti, kita
harus membongkar filsafat ilmu sekuler yang selama ini dianut. Kita harus
membangun epistemologi islami yang bersifat integralistik yang menegaskan kesatuan
ilmu dan kesatuan imtak dan iptek dilihat dari sumbernya, yaitu Allah swt
seperti banyak digagas oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam kontemporer semacam
Ismail Raji al-Faruqi, Prof. Naquib al Attas, Sayyed Hossein Nasr, dan
belakangan Osman Bakar. (10)
Selain
pada pada aspek filsafat, orientasi, tujuan, dan epistemologi pendidikan
seperti telah diuraikan di atas, integrasi imtak dan iptek itu perlu dilakukan
dengan metode pembelajaran yang tepat. Pendidikan imtak pada akhirnya harus
berbicara tentang pendidikan agama (Islam) di berbagai sekolah maupun perguruan
tinggi. Untuk mendukung integrasi pendidikan imtak dan iptek dalam sistem
pendidikan nasional kita, maka pendidikan agama Islam disemua jenjang
pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik,
integralistik dan fungsional.
Dengan
pendekatan holistik, Islam harus dipahami secara utuh, tidak parsial dan
partikularistik. Pendidikan islam dapat mengikuti pola iman, Islam dan Ihsan,
atau pola iman, ibadah dan akhlakul karimah, tanpa terpisah satu dengan yang
lain, sehingga pendidikan Islam dan kajian Islam tidak hanya melahirkan dan
memparkaya pemikiran dan wacana keislaman, tetapi sekaligus melahirkan kualitas
moral (akhlaq al karimah) yang menjadi tujuan dari agama itu sendiri.
Pendidikan Islam dengan pendekatan ini harus melahirkan budaya “berilmu amaliah
dan beramal ilmiah”. Integrasi ilmu dan amal, imtak dan iptek haruslah menjadi
ciri dan sekaligus nilai tambah dari pendidikan islam. (11)
Dengan
pendekatan integralistik, pendidikan agama tidak boleh terpisah dan dipisahkan
dari pendidikan sains dan teknologi. Pendidikan iptek tidak harus dikeluarkan
dari pusat kesadaran keagamaan dan keislaman kita. Ini berarti, belajar sains
tidak berkurang dan lebih rendah nilainya dari belajar agama. Belajar sains
merupakan perintah Tuhan (Al-Quran), sama dan tidak berbeda dengan belajar
agama itu sendiri. Penghormatan Islam yang selama ini hanya diberikan kepada
ulama (pemuka agama) harus pula diberikan kepada kaum ilmuan (Saintis) dan intelektual.
Dengan
secara fungsional, pendidikan agama harus berguna bagi kemaslahatan umat dan
mampu menjawab tantangan dan pekembangan zaman demi kemuliaan Islam dan kaum
muslim. Dalam perspektif Islam ilmu memang tidak untuk ilmu dan pendidikan
tidak untuk pendidikan semata. Pendidikan dan pengembangan ilmu dilakukan untuk
kemaslahatan umat manusia yang seluas-luasnya dalam kerangka ibadah kepada
Allah swt.
Semetara
dari segi metodologi, pendidikan dan pengajaran agama disemua jenjang
pendidikan tersebut, tidak cukup dengan metode rasional dengan mengisi otak dan
kecerdasan peserta didik demata-mata, sementara jiwa dan spiritualitasnya
dibiarkan kosong dan hampa. Pendidikan agama perlu dilakukan dengan memberikan
penekanan pada aspek afektif melalui praktik dan pembiasaan, serta melalui
pengalaman langsung dan keteladanan prilaku dan amal sholeh. Dalam tradisi
intelektual Islam klasik, pada saat mana Islam mencapai puncak kejayaannya,
aspek pemikiran teoritik (al aql al nazhari) tidak pernah dipisahkan dari aspek
pengalaman praksis (al aql al amali). Pemikiran teoritis bertugas mencari dan
menemukan kebenaran, sedangkan pemikiran praksis bertugas mewujudkan kebenaran
yang ditemukan itu dalam kehidupan nyata sehingga tugas dan kerja intelektual
pada hakekatnya tidak pernah terpisah dari realitas kehidupan umat dan bangsa.
Dalam paradigma ini, ilmu dan pengembangan ilmu tidak pernah bebas nilai.
Pengembangan iptek harus diberi nilai rabbani (nilai ketuhanan dan nilai
imtak), sejalan dengan semangat wahyu pertama, iqra’ bismi rabbik. Ini berarti
pengembangan iptek tidak boleh dilepaskan dari imtak. Pengembangan iptek harus
dilakukan untuk kemaslahatan kemanusiaan yang sebesar-besarnya dan dilakukan
dalam kerangka ibadah kepada Allah swt.
Dalam
perspektif ini, maka pengembangan pendidikan bermajna dakwah dalam arti yang
sebenar-benarnya
Setiap
manusia diberikan hidayah dari Allah swt berupa “alat” untuk mencapai dan
membuka kebenaran. Hidayah tersebut adalah (1) indera, untuk menangkap
kebenaran fisik, (2) naluri, untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup
manusia secara probadi maupun sosial, (3) pikiran dan atau kemampuan rasional
yang mampu mengembangkan kemampuan tiga jenis pengetahuan akali (pengetahuan
biasa, ilmiah dan filsafi). Akal juga merupakan penghantar untuk menuju
kebenaran tertinggi, (4) imajinasi, daya khayal yang mampu menghasilkan
kreativitas dan menyempurnakan pengetahuannya, (5) hati nurani, suatu kemampuan
manusia untuk dapat menangkap kebenaran tingkah laku manusia sebagai makhluk
yang harus bermoral.
Dalam
menghadapi perkembangan budaya manusia dengan perkembangan IPTEK yang sangat
pesat, dirasakan perlunya mencari keterkaitan antara sistem nilai dan
norma-norma Islam dengan perkembangan tersebut. Menurut Mehdi Ghulsyani (1995),
dalam menghadapi perkembangan IPTEK ilmuwan muslim dapat dikelompokkan dalam
tiga kelompok; (1) Kelompok yang menganggap IPTEK moderen bersifat netral dan
berusaha melegitimasi hasil-hasil IPTEK moderen dengan mencari ayat-ayat
Al-Quran yang sesuai; (2) Kelompok yang bekerja dengan IPTEK moderen, tetapi
berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring
elemen-elemen yang tidak islami, (3) Kelompok yang percaya adanya IPTEK Islam
dan berusaha membangunnya. Untuk kelompok ketiga ini memunculkan nama Al-Faruqi
yang mengintrodusir istilah “islamisasi ilmu pengetahuan”. Dalam konsep Islam
pada dasarnya tidak ada pemisahan yang tegas antara ilmu agama dan ilmu
non-agama. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia
merupakan “jalan” untuk menemukan kebenaran Allah itu sendiri. Sehingga IPTEK
menurut Islam haruslah bermakna ibadah. Yang dikembangkan dalam budaya Islam
adalah bentuk-bentuk IPTEK yang mampu mengantarkan manusia meningkatkan derajat
spiritialitas, martabat manusia secara alamiah. Bukan IPTEK yang merusak alam
semesta, bahkan membawa manusia ketingkat yang lebih rendah martabatnya.
Dari
uraian di atas “hakekat” penyikapan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari yang
islami adalah memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk meningkatkan martabat
manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah swt. Kebenaran IPTEK
menurut Islam adalah sebanding dengan kemanfaatannya IPTEK itu sendiri. IPTEK
akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan
menjauhkannya, (2) dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang
baik), (3) dapat memberikan pedoman bagi sesama, (4) dapat menyelesaikan
persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan mengandung
kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas.
“Barang
siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai akhirat
dengan ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-duanya juga harus dengan
ilmu” (Al-Hadist).
Perubahan
lingkungan yang serba cepat dewasa ini sebagai dampak globalisasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), harus diakui telah
memberikan kemudahan terhadap berbagai aktifitas dan kebutuhan hidup manusia.
Di
sisi lain, memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan perilaku khususnya
para pelajar dan generasi muda kita, dengan tumbuhnya budaya kehidupan baru
yang cenderung menjauh dari nilai-nilai spiritualitas. Semuanya ini menuntut
perhatian ekstra orang tua serta pendidik khususnya guru, yang kerap
bersentuhan langsung dengan siswa.
Dari
sisi positif, perkembangan iptek telah memunculkan kesadaran yang kuat pada
sebagian pelajar kita akan pentingnya memiliki keahlian dan keterampilan.
Utamanya untuk menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik, dalam rangka
mengisi era milenium ketiga yang disebut sebagai era informasi dan era
bio-teknologi. Ini sekurang-kurangnya telah memunculkan sikap optimis, generasi
pelajar kita umumya telah memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan itu.
Don
Tapscott, dalam bukunya Growing up Digital (1999), telah melakukan survei
terhadap para remaja di berbagai negara. Ia menyimpulkan, ada sepuluh ciri dari
generasi 0 (zero), yang akan mengisi masa tersebut. Ciri-ciri itu, para remaja
umumnya memiliki pengetahuan memadai dan akses yang tak terbatas. Bergaul
sangat intensif lewat internet, cenderung inklusif, bebas berekspresi, hidup
didasarkan pada perkembangan teknologi, sehingga inovatif, bersikap lebih
dewasa, investigative arahnya pada how use something as good as possible bukan
how does it work. Mereka pemikir cepat (fast thinker), peka dan kritis terutama
pada informasi palsu, serta cek ricek menjadi keharusan bagi mereka.
Sikap
optimis terhadap keadaan sebagian pelajar ini tentu harus diimbangi dengan
memberikan pemahaman, arti penting mengembangkan aspek spiritual keagamaan dan
aspek pengendalian emosional. Sehingga tercapai keselarasan pemenuhan kebutuhan
otak dan hati (kolbu). Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi
jaminan kepada siswa akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama
di dunia tapi juga kelak di akhirat.
Jika
hal itu dilakukan, tidak menutup kemungkinan para siswa akan terhindar dari
kemungkinan melakukan perilaku menyimpang, yang justru akan merugikan mas
0 komentar:
Posting Komentar